Sepatah Rindu.
Rindu. Berkali-kali kugoreskan kata ini tatkala berusaha mendeskripsikan tentangnya.
Aku rindu pada tamannya yang sederhana. Di tanah yang hitam nan subur, tumbuh berbagai pohon buah dan sayuran yang bebas dipetik oleh siapa saja. Kami sering berlomba memetiknya walau ia belum matang sempurna. Bersama-sama duduk melingkar menikmati pepaya atau mangga mengkal, ditemani sambal rujak khas daerah masing-masing.
Aku rindu pada orang-orangnya yang berasal dari ragam suku dan bahasa. Mulai dari Sabang sampai Merauke, Timur dan Barat berbaur bersama tanpa batas. Berbagai kuliner kiriman dari orang tua di kampung kucicipi bersama dengan rasa yang berbeda-beda. Bahasa kami satu, bukan bahasa Indonesia. Namun bahasa Arab.
Aku rindu pada seniornya yang bersahaja. Tak kenal lelah mendampingi kami adik-adiknya yang kadang kurang ajar. Senantiasa sabar menghadapi setiap tingkah kami yang gagal beradaptasi. Tak ada istilah senioritas dalam kamus-kamus mereka. Bahkan, mereka tak segan belajar dari yang muda.
Aku rindu pada dosen-dosennya yang terus mengajar tanpa pamrih. Teris bersemangat mentransfer ilmu setiap hari, dari pagi hingga sore. Jatah libur pun sering dimanfaatkan untuk belajar bersama. Materi yang cukup sulit kembali dikupas hingga tuntas, sedang pelajaran adab dan bahasa dibawakan dengan riang gembira.
Ah, aku selalu rindu. Teramat banyak kata itu ketika bercerita tentangnya. Walau ragaku telah terpisah ribuan kilometer, walau waktu telah terbentang sekian lama, rasa itu takkan sirna.
Aku rindu. Semoga Allah selalu menjaganya, dan para penghuninya.
Komentar
Posting Komentar