Bus Delapan Puluh Coret (Bagian 1)

Islam adalah agama yang paling sempurna. Ah masa?

Cepat-cepat ia menghalau pikiran itu menyingkir dari kepalanya. Entah berapa kali ia mulai mempertanyakan agamanya sendiri. Agama yang telah dianut orang tuanya, kakeknya, bahkan kakek dari kakek kakeknya.

Paham pluralisme memang sangat kental di lingkungan sekolah. Guru biologinya bahkan pernah berkata secara gamblang, bahwa semua agama setara. Semua menyeru kepada kebaikan, kendati memiliki versi tuhannnya masing-masing. Teman sekelas yang beragama Islam bahkan bersahabat dekat dengan teman Kristen. Mereka mengekspresikan toleransi dengan saling mengingatkan ibadah satu sama lain, dan saling mengunjungi tempat ibadah.

Jika semua agama sama, kenapa banyak sekali agama yang berbeda-beda? Kenapa cara pandang dan beribadahnya juga berbeda-beda? Pikiran kritisnya tak menyerah mengusik, sering kali datang ketika waktu-waktu tidur tiba.

Masing-masing agama mengaku yang paling baik dan benar. Setiap dari pemukanya berlomba-lomba menyeru, mencap bahwa selain agamanya adalah sesat. Semua, kecuali agama Yahudi. Sebab, orang-orang Yahudi meyakini, keyakinan mereka ekslusif. Hanya keturunannya yang mulia, sedang yang lain harus patuh sebagai bawahan.

Gadis yang berada dalam fase puber itu memutuskan untuk membuka laptop. Matanya sudah menolak terpejam. Ia mulai membuka-buka novel elektronik dan film yang ia punya. Hampir semuanya berasal dari luar negeri. Ia tak sadar, film dan buku yang ia nikmati sehari-hari memberi sumbangsi yang amat besar terhadap kegelisahan yang ia rasakan akhir-akhir ini.

Produk hiburan luar negeri memang sering kali mengadopsi budaya dan pola pikir mereka ke dalam setiap adegan. Sedikit demi sedikit, penikmat yang larut dalam emosi terpengaruh dalam alam bawah sadar. Mulai dari hal kecil seperti makanan hingga pola pikir yang memengaruhi aspek sosial seperti standar kecantikan dan ketampanan setiap orang.

***

"Ay... Aisyah, yuk bangun shalat Subuh." Ibu sang gadis mencoba membangunkan anak semata wayangnya pukul lima pagi. Ia hanya bisa menghela napas memandang laptop yang masih menyala di samping putrinya itu. Layarnya menampilkan film berseri full musik dan bahasa asing yang tidak ia mengerti. Yang dibangunkan tak bergeming, lelah telah memaksa matanya terpejam satu jam yang lalu.

Sang ibu kembali ke kamarnya, berusaha bersabar atas kelakuan putrinya beberapa minggu terakhir. Shalatnya sering terlambat, lantunan Al-Quran pun semakin jarang terdengar. Tak putus-putus doa dipanjatkan untuknya dalam sujud-sujud panjang pada sepertiga malam. Hanya kepada Allah ia dapat merintih, mengeluhkan kegalauannya yang harus mencari nafkah sepanjang hari, sementara usia sang gadis telah memasuki masa remaja. Tentu detik awal pubertasnya sangat butuh pengarahan ekstra.

Kembali ia meneteskan air mata. Rindu. Sosok suami begitu sangat dirindukannya.

Berita pesawat jatuh yang berulang kali tayang pada berita televisi sering berkelabat dalam benaknya. Suaminya ada di sana, dakwah safari yang ia laksanakan melibatkan beberapa ibu kota provinsi di Indonesia. Badan pesawat yang tenggelam menyulitkan pencarian. Setelah pencarian sebulan oleh tim sar, suaminya dinyatakan meninggal dunia tanpa jasad yang ditemukan.

Pesan terakhir yang ia terima masih tersimpan di gawai pribadinya.

Aku berangkat dulu, ya. Tolong jaga putri kita, kamu ibu yang hebat. Aku sayang kamu.

"Aku tidak hebat, Mas. Aku butuh kamu. Putri kita butuh kamu. Aku tidak bisa menangani semuanya sendirian, Mas!" 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Salah?

Persiapan Keberangkatan (2)

Kail Pemancinh