Pada Sebuah Persimpangan
Ujian belum juga selesai, bayang persimpangan yang harus kuhadapi terus menghantui akhir-akhir ini. Pendidikanku di strata satu akan segera selesai, pilihan apa yang selanjutnya akan aku ambil?
Selalu seperti ini, mengkhawatirkan masa depan yang belum pasti. Padahal tak ada yang menjamin takdir dan usiaku akan mencapai persimpangan tersebut. Namun, tetap saja, rasa takut dan khawatir ini tak bisa dihilangkan dengan mudah.
Dihadapkan pada dua pilihan, atau mungkin lebih, membuat otakku merancang berbagai skenario yang mungkin saja terbentuk. Teman-teman sebayaku mungkin akan berpusing ria, memikirkan akan melanjutkan pendidikan, karir atau menikah. Namun, aku sudah menjalani ketiganya sekaligus. Menjalani selama hampir empat tahun jatuh bangun yang penuh tantangan, berusaha bertahan agar tak ada yang perlu dikorbankan. Pertanyaan, "Apa aku serakah?" sering melintas mengiringi selama perjalanan ini.
Sebagai seorang mahasiswa, perjalanan tingkat pertamaku akan berakhir. Janji suami untuk mendukungku menyelesaikan pendidikan sarjana telah berada pada titik minimalnya. Meski demikian, setiap kali kutanya pendapatnya tentang jalan yang mungkin aku ambil setelah ini, ia tetap mau mendukung apa pun yang kuinginkan. Membantu memberikan pertimbangan dan gambaran pada setiap pilihan yang bisa kuambil. Pada akhirnya, ia selalu menyerahkan keputusan akhirnya padaku.
Meski tak dikatakan secara gamblang, mungkin saja suami terkadang ingin melihat istrinya sesekali menjadi ibu rumah tangga yang bisa melayani sepenuhnya. Sarapan yang selalu tersedia, rumah yang senantiasa bersih, dan anak yang sehat dan harum. Tak harus terus melayani diri sendiri setiap pagi karena aku masih kelelahan setelah menyelesaikan bacaan semalam suntuk. Atau bahkan terus bersabar tatkala pulang dan mendapati diriku ketiduran, tak menyambutnya pulang kerja.
Terkadang pula, kekhawatiran itu muncul ketika melihat anakku bermain sendiri, menunggu ibunya menyelesaikan tenggat ini dan itu. Pendidikan apa yang harus kuberikan? Kebiasaan apa yang harus kutanamkan? Bagaimana kehidupannya, apa aku bisa mengiringi pertumbuhan dan perkembangannya dengan baik? Harapan akan masa depannya membuatku merasa kurang dan terus kurang.
Atau itu hanya pemikiran-pemikiran kalutku, terutama setelah melihat potret kehidupan keluarga di luar sana yang terlihat harmonis dan sempurna?
Pendidikan, karir dan keluarga. Selama tiga tahun terakhir, ketiga hal ini terus berjalan beriringan. Meski tentu saja, dalam perjalanannya aku terus mengalami kesulitan dalam membagi waktu. Lalu di persimpangan kini, pilihan-pilihan tersebut seakan berebut meminta jatah prioritas. Mereka menjelma boneka-boneka menyeramkan di kepala, bising bertengkar hingga bahkan saling berkelahi dalam imajinasi.
Di tengah kecamuk pikiran ini, terkadang keinginan untuk kembali ke masa lalu terlintas. Kembali pada masa-masa lajang, lalu berusaha membangun manajemen waktu yang baik dan pola hidup yang lebih sehat. Lebih cepat mengerti akan kebutuhan diri sendiri, dan bisa lebih awal memperbaiki bagian yang butuh ditambal. Ah, perandaian yang tak ada gunanya. Tentu saja, waktu takkan berputar kembali ke masa lalu seperti pada cerita fiksi.
Beberapa waktu belakangan, aku baru sadar. Kekalutan ini akan semakin parah ketika aku sedikit menjauh dari Tuhanku. Perandaian yang seyogyanya tak sering-sering ada dalam kehidupan seorang hamba yang beriman muncul begitu saja. Ibadah wajib yang kadang diakhirkan, ibadah sunnah yang mulai sering dilupakan, dan Al-Quran yang hanya dibaca pada waktu luang memberi pengaruh lebih besar lagi pada keruwetan pikiran.
Aku luput untuk menguatkan kembali fondasi tauhid, belajar hal-hal yang menjadi dasar seorang muslim terbentuk. Terutama tentang rukun iman yang terakhir, iman kepada takdir baik dan buruk.
Padahal takdir Allah sudah pasti sejak puluhan ribu tahun yang lalu. Tak ada lagi yang akan berubah darinya, untuk apa aku begitu mengkhawatirkan sesuatu yang sudah pasti? Tugas seorang hamba adalah taat, menjalani kehidupan sebaik mungkin sesuai dengan garis takdir yang kira-kira dituliskan untuknya. Terus berjuang semaksimal mungkin, tetapi diiringi sikap tawakkal atas apa yang terjadi pada setiap detik yang akan terlewati.
Mengapa aku begitu sibuk mencari jawaban pada setiap tulisan dan perkataan para makhluk? Padahal Allah adalah satu-satu-Nya Dzat yang tahu takdir dan masa depanku. Hanya pada-Nyalah sepantasnya aku bertanya. Dia telah menyediakan tempat meminta yang paling nyaman dalam sujud-sujud panjang shalat Istikharah. Dia telah mengajarkan, melalui lisan nabi-Nya, doa-doa yang indah nan menentramkan hati para hamba-Nya.
Padahal tak ada yang perlu dikhawatirkan. Terus saja berjalan meniti takdirnya. Karena, kita hanya diperintahkan untuk terus bergerak dan berbuat. Lalu, tugas Allah lah yang mengatur, memudahkan seluruh jalan, jika itu memang ditakdirkan menjadi catatan kehidupan.
"Wahai Rasulullah, mengapa kita tidak memasrahkan diri pada ketetapan (takdir) kita saja?" Beliau menjawab, "Beramallah kalian, karena masing-masing akan dimudahkan menggapai apa yang diciptakan untuknya..."
Komentar
Posting Komentar