Jalan yang Tak Disangka

Di negara Saudi, aku memiliki dua teman yang menetap karena mendampingi suami menyelesaikan studinya di sana. Satu di Makkah, dan satu lagi di Madinah. Mereka sama-sama seangkatan denganku di pondok, salah satunya bahkan pernah tinggal sekamar. 

Semakin mendekati waktu penerbangan, aku sempat curhat pada teman di Madinah tentang kendala tempat tinggal yang harga-harganya melonjak naik. Ia pun mengonfirmasi hal tersebut, hotel dan bahkan hostel-hostel sederhana pasti menaikkan harga dua kali dalam setahun : ketika musim haji dan pada bulan Ramadhan. Tentu saja, karena permintaan pada waktu-waktu tersebut juga meningkat drastis. 

Ia pun sempat menyarankan untuk tinggal di Madinah saja dulu, sambil mencari penginapan yang cocok di Makkah. Kami berbincang cukup lama, lalu ia pun berceletuk di akhir-akhir pembicaraan, "Udah tanya kawan yang tinggal di Makkah?" 

Anehnya, aku selama ini tak berpikiran ke sana. Karena prasangkaan yang terlanjur kurang baik, pikiranku seakan tertutup mencari jalan keluar. Padahal masih banyak ikhtiar yang bisa dilakukan, salah satunya menghubungi kawan-kawan yang tinggal di Saudi. Simpan dulu kemungkinan terburuk, toh, tak ada ruginya mencoba. 

Maka, aku pun mulai mencari kontak sang teman ini. Di satu sisi, rasa sesal muncul. Kenapa di tengah kemudahan teknologi, aku jarang sekali terhubung dengan teman-temanku di masa lalu? 

"Kamu kan, sibuk. Harus terus menjalani kegiatan kuliah sambil mengurus keluarga." Terdengar sisi lainku membeladiri dengan berisik. 

Setelah saling menanyakan kabar, aku mulai menceritakan keadaanku saat itu. Ia menyambut sangat hangat, mendoakan jalan terbaik bagi kami. Sayangnya, kabar baik belum tiba pada hari itu. Selama di Makkah, ia menempati hotel yang berjarak sekitar enam kilometer dari Masjidil Harom. Namun, hotel yang ditempati kabarnya sudah penuh. Kondisi yang hampir sama di tempat lain, jika bukan harga yang terlampau mahal, stok kamar sudah dibooking jauh-jauh hari oleh travel. Meski demikian, ia berjanji akan bertanya lagi pada resepsionis keesokan harinya. 

Seharian aku menunggu kabarnya, tapi notifikasi HPku yang sangat sepi tak menunjukkan tanda apa pun. Ketika secercah harapan yang kupunya hampir pupus, pesan darinya datang ketika waktu menunjukkan hampir tengah malam. 

"Ukh, kata resepsionis, ada kamar yang kosong!" 

Sontak, aku berseru dan hampir membangunkan Nusaibah yang telah terlelap. Buru-buru kuhubungi suami dan mengabarkan informasi ini. Beliau berjanji akan mendatangi hotel tempat temanku ini tinggal dan bertemu dengan suaminya. 

Prosesnya begitu cepat. Siang hari, aku telah mendapat video pendek kondisi calon kamar yang akan kami tempati. Malamnya, suami ternyata telah selesai melakukan akad sewa. Dana yang kuketahui masih kurang ditutupi oleh inisiatif pinjaman suami dari temanku ini. Katanya, santai saja dibayarnya. Aku pun merasa sangat bersyukur, jalan itu dibuka sehari sebelum keberangkatan. 

Doaku untuk berumroh dengan tinggal di hotel dikabulkan dengan cara yang tak kuekspektasikan sebelumnya. Padahal, kukira kami akan tinggal di flat-flat sederhana karena dana yang terbatas. Ditambah lagi, aku tinggal sehotel, bahkan selantai dengan teman yang sangat baik, barokallahu fiihaa. 

Begitulah Allah melatih kami untuk terus berprasangka baik pada-Nya. Meski telah berusaha semaksimal mungkin, kehendak yang terjadi di muka bumi ini tak bisa lepas dari-Nya. Tugas kami adalah berikhtiar, sisanya akan diselesaikan dengan cara yang indah dan tak terduga. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Salah?

Persiapan Keberangkatan (2)

Kail Pemancinh