Amarah Tanpa Dusta

Anak adalah manusia yang sangat jujur akan emosinya. Dia akan menangis jika merasa tak nyaman, dan tertawa jika merasa senang. Tak seperti orang dewasa yang terbiasa menampilkan tawa ketika hati teriris.

Itulah yang kupelajari selama mendidik anak pertamaku. Pada setiap tangis, rewel dan tantrum yang ia keluarkan, kalimat ini menjadi bantuan yang cukup ampuh bagiku untuk meregulasi emosi, tak ikut marah mendengarnya. Karena emosi anak kecil adalah hal yang paling jujur, tangisannya benar-benar menandakan bahwa ia merasa tak nyaman dan butuh bantuan, bukan karena ingin membuat kesal orang sekitar.

Aku baru disadarkan, bahwa tantangan orang tua tak hanya memenuhi kebutuhan nutrisi dan sanitasi anak. Memastikan anak tumbuh dalam lingkungan yang aman dan nyaman juga menjadi PR besar yang harus dilakukan. Bukan sekadar memastikan nutrisi fisiknya tercukupi, kebutuhan mentalnya juga perlu diperhatikan dengan seksama.

Semakin dewasa, anak kecil yang selalu jujur akan perasaannya ini akan belajar tentang kerasnya dunia, dan tidak semua orang bisa memahami, bahkan menerima emosi yang ia rasakan. Ia kadang-kadang butuh menyembunyikan emosi, untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Dan akan miris sekali, jika pola ini harus dia temui sejak kelahirannya. Orang tua yang belum siap dan mampu meregulasi amarah ketika mendengar tangisannya yang menganggu, dapat menyebabkan sang anak lambat laun menahan emosinya agar menyenangkan hati 'sang malaikat' dalam kehidupannya, dan tentu itu tak baik untuk perkembangan emosinya.  

Menurut beberapa literatur, memendam emosi negatif bisa berbahaya, terutama jika dilakukan dalam jangka panjang. Memendam emosi dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan penumpukan di alam bawah sadar. Hal ini dapat menjadi salah satu penyebab depresi. Aliran darah dan detakan jantung tak stabil, juga sistem imun yang melemah juga bisa dipengaruhi oleh kebiasaan memendam emosi ini.

Jika tak disalurkan dengan baik, emosi negatif yang tertumpuk bisa disalurkan pada kegiatan lain yang kurang baik. Makan makanan tak sehat, mengonsumsi konten internet yang tak pantas hingga mengalihkan amarah pada obat-obatan terlarang--Naudzubillah--, menjadi bentuk pelampiasan emosi secara tak sadar. Anak-anak yang belum bisa membedakan antara benar dan salah lebih mudah terjatuh pada hal-hal seperti ini.

Sedini mungkin, seorang ibu --juga bapaknya-- harus secara bertahap belajar mengatur emosinya, lalu mulai membiasakan diri menerima emosi sang anak meski ia meledak-ledak dan membuat hati dongkol. Sehingga selanjutnya, anak bisa belajar cara untuk beresiliensi di kehidupan sosialnya. Ia juga bisa lebih nyaman menjadikan keluarga sebagai tempatnya pertama untuk bercerita dan tidak mencari kenyamanan di luar sana.

Selain membangun kebiasaan mental yang baik, seyogyanya anak-anak juga diajarkan untuk memiliki tempat agar bisa jujur terhadap dirinya sendiri. Caranya, dengan membiasakannya bersandar dan curhat hanya kepada Allah. Sebab, hanya di hadapan Allah, seorang hamba bisa melepaskan seluruh topengnya, dan benar-benar mengakui dirinya sendiri. Bahwa ia adalah manusia lemah yang punya banyak kekurangan, dan seluruh kelebihan yang dipunya merupakan anugerah dari Allah yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin.

Sehingga, ia bisa tetap menjalani hidup yang baik dan kualitas mental yang terjaga, dengan atau tanpa orang tuanya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Salah?

Persiapan Keberangkatan (2)

Kail Pemancinh