Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2022

Buah Manis nan Istimewa

Pada tahun kedua di Arraayah, BEM keputrian bagian kesehatan mengajakku bergabung sebagai anggota. Kesempatan emas bagiku yang telah menyukai hal-hal berbau medis dan bahkan sempat berkeinginan menjadi tenaga kesehatan. Setelah dipikirkan beberapa hari, aku pun resmi menjadi anggota qism shihhah.  Sebagai anggota qism shihhah, kami memperoleh amanah mendata mahasiswi yang sakit secara bergantian setiap pagi sebelum kelas dimulai. Keterangan sakit dalam absensi hanya dapat diisi oleh anggota kami, sehingga tak ada istilah titip absen sakit pada teman. Kami yang berkeliling langsung dari kamar ke kamar, melihat langsung keadaan mahasiswi yang sedang sakit.  Setiap kunjungan, beberapa obat akan diberikan, baik herbal maupun obat-obatan kimia dari apotek. Jika sakit terasa parah atau tak kunjung membaik, perwakilan dari kami akan mengantarnya ke dokter yang tinggal di kompleks kampus dan biasanya akan mendapatkan rujukan ke rumah sakit. Terkadang pula dibawa ke klinik untuk akupun...

Penjara Suci

Dari 15 hektar tanah yang diwakafkan untuk Arraayah, 1,5 hektar di antaranya adalah qism banaat atau kompleks keputrian. Walau hanya 10% dari total keseluruhan, bagian ini menjadi pusat aktivitas mahasiswi Arraayah. Karena dibatasi oleh pagar besar dan tembok yang menjulang, hijab kami terjaga di sana. Setiap lawan jenis yang akan masuk harus melalui pos izin terlebih dahulu, dan menunggu sejenak setiap dari kami masuk ke gedung-gedung.  Gedung utama yang terletak di tengah, kami sebut madrasah. Di sanalah proses belajar mengajar berlangsung. Bagian tengah berupa aula besar dengan hamparan sajadah panjang nan lebar. Shalat berjamaah dua waktu dilaksanakan di aula tersebut, sedangkan tiga waktu gelap lainnya diadakan di masjid lantai dua. Ruang dosen perempuan dan tata usaha, berdampingan dengan kelas-kelas kuliah yang punya desain yang unik.  Kelas-kelas kuliah telah dimodifikasi sedemikian rupa agar para asatdizah atau dosen laki-laki bisa leluasa mengajar tanpa fitnah. Ruang...

Tahun Ketiga

Tahun ketiga pernikahan merupakan tahun roller coaster bagiku.  Masih terlalu singkat untuk saling mengenal luar dalam, namun sudah cukup untuk memunculkan jati diri masing-masing. Termasuk ego yang mulai berlomba dimenangkan. Komunikasi yang mulai putus nyambung. Setiap dari kami ingin dimengerti, tapi lupa peka atas situasi. Lalu, rasa lelah mendera memperparah situasi.  Selama menjalin hidup bersama, tersingkap kebiasaan dan informasi pasangan yang sering kali bertolak belakang dengan karakterku. Hal-hal kecil sebenarnya, sebab hal besar seperti prinsip dan keyakinan sudah ditelusuri jauh sejak jenjang perkenalan. Hal-hal kecil yang banyak, teramat banyak. Hingga kadang aku mulai tak sabar bertahan dalam kondisi tersebut.  Padahal apa gerangan yang membuat emosi naik turun? Selera makan yang berbeda? Bentuk kepedulian yang berbeda? Atau bahkan rutinitas yang kadang tak selaras?  Dalam setiap puncak kemarahan yang kurasakan, berkali-kali kubisikkan pada diri. Ta'aw...

Senior Rasa Guru

Dalam perjalananku mengenal bahasa Arab, ada satu nama yang sangat berarti. Beliau adalah senior beda dua tingkat, keturunan Arab yang sebelum masuk Arraayah pun tak bisa bercakap Arab sama sekali.  Sebagai sesama alumni sekolah negeri yang hanya belajar agama Islam kurang dari dua puluh jam per minggunya, ia mengerti kegundahanku. Bahasa Arab di sekolah sebelumnya bukanlah fokus utama, bahkan hampir tak pernah diajarkan. Berbagai kesulitan yang harus kulalui, sangat terbantu dengan kehadirannya.  Total ribuan mufrodat atau kosa kata yang kini berhasil kuhafalkan, ratusan berasal darinya. Sebagai qism lughoh atau anggota bagian bahasa, ia senang sekali memperkenalkan kosa kata baru dan membagi-bagikannya. Entah karena hobinya itu sehingga ia diangkat menjadi qism lughoh, atau karena euforia qism lughoh menjadikannya demikian.  Selain mufrodat, ia juga mengajariku--dan juga beberapa teman, kaidah bahasa Arab fasih. Pelajaran itu tentu membantu pemahaman ketika membaca, jug...

Nuqtou

Kalian tahu 'nuqtoh'? Nuqtoh dalam bahasa Arab berarti tanda titik. Ia juga bisa berarti bagian kecil dari sesuatu.  Ketika informasi penjajahan di Palestina oleh Israel beredar di facebook beberapa waktu yang lalu, aku teringat kata ini. Kata yang menjadi judul kegiatan besar di Arraayah, dilaksanakan di salah satu malam liburan kami.  Menurut penggeraknya, Nuqtoh berarti titik awal menuju perubahan. Bisa juga hal kecil yang mampu kita lakukan, untuk menolong saudara-saudara seiman yang sedang berjuang di tanah Al-Aqsa.  Kegiatan yang dirangkaikan dengan seminar berjudul "NUQTOH" itu membahas tentang produk-produk familiar yang biasa kita gunakan sehari-hari. Unilever, nestle dan kawan-kawannya. Merek produk yang berasal dari Israel, dari mereka yang tanpa rasa bersalah membunuh anak-anak dan perempuan di sekitar kiblat pertama Islam.  Dalam hukum fiqh, bermuamalah--dalam hal ini jual beli-- asalnya dibolehkan walau dengan mereka yang berbeda agama dan keyakinan. Se...

Bukan Puisi Cinta - Bus Delapan Puluh Coret (3)

Dari dulu, Aisyah tak pernah percaya pada cerita cinta dan hal-hal romantis yang berkaitan dengannya. Menganggapnya sebagai sebuah virus yang sewaktu-waktu bisa merusak berbagai rencana yang telah tersusun rapi bagi masa mudanya. Lucunya, ia sering kali dijadikan tempat curhat bagi teman-temannya yang dimabuk cinta. Bahkan, julukan pakar cinta beberapa kali tersematkan padanya. Padahal, ia tak pernah serius menjawab curhatan mereka. Ia hanya beberapa kali mengerti jalan pikiran laki-laki, khususnya para brengsek yang senang mempermainkan perasaan. Maka ketika formulir lomba puisi itu diserahkan, tanpa sadar ia memutar mata. Apalagi setelah melihat tema yang panitia tetapkan, rasa-rasanya ingin langsung menolak saja. "Mau mundur? Masa belum dicoba sudah mundur duluan?" kata Bu Sumi ketika raut muka Aisyah sedikit tertekuk. Ia tahu persis bakat anak didiknya itu --terlepas dari ketidaksukaannya pada pakaian yang ia kenakan--. Hanya Aisyah, gadis di hadapannya yang bisa beg...

Bus Delapan Puluh Coret (Bagian 2)

Kriiing! Bel sekolah terdengar nyaring, mengalahkan suara gaduh para siswa yang berlarian menuju kelas masing-masing. Aisyah yang menetap di bangkunya selama jam istirahat hanya memasukkan kotak bekal yang telah kosong dan memperbaiki posisi duduk. Guru matematika kesukaannya sebentar lagi tiba. "Ay, Bu Sumi manggil tuh, ke ruangannya. Udah diizinin ke Pak Nusa katanya," ketua kelas yang baru saja duduk di sampingnya segera mencolek bahu Aisyah. "Kayaknya lomba lagi." Aisyah menghela napas. Ia kemudian beranjak dari kursinya setelah berkata pelan, "Ok, makasih." Lorong kelas yang hening meriuhkan pikirannya. Lomba ya? Kalau Bu Sumi yang manggil, kemungkinan lomba nulis lagi. Kalau karya ilmiah, enaknya buat apa ya? Tapi... Harus Bu Sumi, ya? Lamunannya terhenti ketika kakinya mulai melangkah masuk ruang guru. Suasana juga cukup sepi, sepertinya para guru sudah berangkat ke kelas masing-masing. Bagian TU menyapa dari jauh. Ia segera melangkah ke rua...

Bus Delapan Puluh Coret (Bagian 1)

Islam adalah agama yang paling sempurna. Ah masa? Cepat-cepat ia menghalau pikiran itu menyingkir dari kepalanya. Entah berapa kali ia mulai mempertanyakan agamanya sendiri. Agama yang telah dianut orang tuanya, kakeknya, bahkan kakek dari kakek kakeknya. Paham pluralisme memang sangat kental di lingkungan sekolah. Guru biologinya bahkan pernah berkata secara gamblang, bahwa semua agama setara. Semua menyeru kepada kebaikan, kendati memiliki versi tuhannnya masing-masing. Teman sekelas yang beragama Islam bahkan bersahabat dekat dengan teman Kristen. Mereka mengekspresikan toleransi dengan saling mengingatkan ibadah satu sama lain, dan saling mengunjungi tempat ibadah. Jika semua agama sama, kenapa banyak sekali agama yang berbeda-beda? Kenapa cara pandang dan beribadahnya juga berbeda-beda? Pikiran kritisnya tak menyerah mengusik, sering kali datang ketika waktu-waktu tidur tiba. Masing-masing agama mengaku yang paling baik dan benar. Setiap dari pemukanya berlomba-lomba menyeru, menc...

Jika Aku...

Gawat. Jam menunjukkan pukul 22.00 WIB, sementara tulisan yang harus kuposting hari ini belum ada. Jam malam menuls ketika anak tidur sudah terlewat. Rasanya sulit sekali menulis ketika bayi 15 bulanku juga meminta jatah perhatian. Mengingat-ingat kembali kenangan di Arraayah dulu, membuatku membayangkan beberapa kemungkinan. Kalau keputusanku untuk tetap berada di Arraayah dilaksanakan, mungkin anakku masih dalam kandungan. Atau jodohku bahkan belum datang. Jikalau saja aku menetap di Arraayah hingga hari kelulusan, mungkin sekarang pendidikanku sudah proses pengambilan gelar magister. Tapi takkan ada pengalaman meniti dunia yang berbeda. Atau mungkin magisterku malah di luar negeri? Ah, membayangkan kemungkinan atas takdir lain sepertinya tak bermanfaat sama sekali. Sebab tak ada takdir itu. Semuanya telah tertulis di lauhul mahfuz, bahwa aku akan meninggalkan Arraayah dan melanjutkan pendidikan di bumi Kinanah. Juga bertemu dengan jodoh di negeri yang sama. Apa pun yang telah te...

Kemuliaan Waktu Para Ulama

Itulah pembahasan yang paling sering diangkat di Arraayah. Pembahasan sejarah para sahabat, serta ulama yang terabadikan dalam kitab-kitab menjadi santapan yang paling nikmat. Tak dapat disangkal, orang-orang shalih yang patut diteladani begitu berlimpah ruah. Bersyukur banyak-banyak dengan cara mempelajari dan mengamalkannya.  Salah satu ulama yang sering disebut adalah imam Nawawi. Aku pribadi sangat takjub atas dedikasinya pada ilmu. Hingga akhir usianya di 45 tahun, beliau terus belajar dan mengajarkan ilmu Islam.  Di usianya yang tak panjang, tulisan tangannya mencapai ribuan halaman. Diriwayatkan bahwa total karya yang dihasilkan jika dibagi jumlah umurnya, maka rata-rata beliau menuliskan dua buku per hari. Padahal beliau baru mulai menulis di umurnya 18 tahun, maka bayangkan sebanyak apa yang telah ditulis!  Beberapa buku di antaranya masih beredar hingga kini, bukan hanya sekedar tulisan biasa. Selalu best seller dan menjadi rujukan banyak instansi pendidikan. Te...

Kenangan Baju Pink

Di lemariku, tersimpan baju pink yang sudah cukup lusuh. Setiap melihatnya, kuingat kawan seangkatanku dulu di Arraayah. Namanya Istianah. Di mataku, ia cerdas, cantik dan rapi. Berbeda denganku yang cenderung tomboy, Istianah adalah perempuan feminis yang selalu tampil manis. Suatu hari, Ummi mengunjungiku di pondok. Kunjungannya bukan hal yang langka, mengingat pekerjaannya sebagai guru dan musyrifah di kota yang sama denganku. Beliau membawakanku sebuah kaos pink berlengan panjang, dengan pemanis pita di beberapa sisi. Dominasi bajuku saat itu berupa warna- warna netral seperti abu- abu dan hitam. Tak ada baju pink yang terselip, membuatnya sedikit berbeda di laci tumpukan baju. Kupandangi lamat-lamat. Cantik juga, tetapi terasa seperti bukan gayaku. Kuputuskan untuk memakainya sekali-kali, apalagi kaos lengan panjang sepertinya akan banyak dibutuhkan di musim penghujan nanti. Pertama kali kukenakan baju ini ke kelas, Istianah spontan memuji. "Cantik sekali bajunya, maasya...