Takdir part 2
Kala itu, mentari masih berada di belahan bumi lain. Hanya pantulannya yang tampak dari rembulan yang sedang purnama. Lengang, itulah yang tertangkap olehku. Hanya rumah bidan yang masih tersisa keramaian, mengantarku meluncur ke rumah sakit yang sudah ditentukan.
Hai, aku Fulanah. Asli Bugis, Sulawesi Selatan. Namun masa kecilku tak berada di satu tempat. Masa SD di Sumatera, SMP kembali ke tanah kelahiran, SMA di Kalimantan lalu mengambil sarjana di salah satu pondok di Jawa Tengah. Tak sampai disitu, ternyata jodohku berasal dari Merauke, Papua. Lalu takdir membawaku terbang ke Kairo, Mesir. Menemani kekasih hati menuntut ilmu di sana.
Malam ini, aku kembali merasakan kontraksi. Setelah sekitar sembilan bulan yang lalu aku dinyatakan positif hamil, sepertinya mala mini adalah waktunya bayi untuk keluar. Rasa konstraksi mulai semakin intens, dengan rentang waktu yang makin singkat. Kontraksi sebenarnya sudah kurasakan sejak seminggu yang lalu. Rasa it uterus-terusan datang walau belum memiliki pola. Selama seminggu, taka da tidurku yang nyenyak. Mau beraktifitas pun serb salah. Berbagai tips-tips untuk merangsang kontraksi juga sudah kucoba.
Ak uke rumah temanku yang juga bidan sejak sore, dan hingga kini pembukaan masih stuck di pembukaan tiga. Rasa sakitnya semakin menjalar, rasanya ingin teriak. Suami memutuskan untuk membawaku ke rumah sakit. Melahirkan di bidan sini tidak diperbolehkan, karena temanku ini juga ke Mesir utuk menemani suaminya. Bukan untuk buka praktik. Kalau buka praktik, harus ada izin praktik dan juga sarana prasananya tidak lengkap. Lagi pula, ia akan berbeda kalau membantu melahirkan di Indonesia. Katanya, izin perbidanannya bisa dicabut. Jadilah ia cukup membantu memeriksa kondisi janin, detak jantungnya serta mengukur pembukaan.
Ada seorang dokter yang menjadi langganan orang-orang Asia di Mesir sini. Beliau sudah mengerti kebiasaan-kebiasaan orang Indonesia – Malaysia yang akan lahiran. Jadi, kami juga berencana untuk melahirkan bersama beliau di rumah sakit.
Sejam yang lalu, kami telah menelpon beliau. Beliau berkata, tafadhdholi. Datang ketika kamu merasa sakitnya sudah tak tertahankan dan intensitas kontraksinya semakin sering. Kalau perlu dicek menggunakan stopwatch. Namun aku sudah tidak bisa mengindahkannya lagi, sakit yang terasa sangat sakit. Suami yang menemani juga tak tega melihatku. Kami memutuskan untuk pergi ke rumah sakit lebih awal, walau pun bidan mengatakan pembukaanku baru mencapai tiga.
Di Mesir memang tidak ada tinggal lama di rumah sakit seperti di Indonesia. Setidaknya itu sependek pengetahuanku. Ketika kita datang ke rumah sakit dan pembukaan baru memasuki satu atau dua, kebanyakan disuruh pulang. Kalau sudah empat atau lima, baru disiapkan kamar. Itu pun ditunggui. Kalau masih lama, induksi selalu menjadi pilihan. Walau pun sebenarnya kalau bersabar sedikit lagi, induksi tak harus dimasukkan.
Karena itu, para senior menyarankan agar tidak terburu-buru ke rumah sakit. Kemungkinan induksi akan sangat tinggi. Kalau bisa ditahan, pergilah ke rumah sakit jika pembukaan telah mencapai tujuh atau delapan. Syukur-syukur, bisa langsung lahiran sesampainya di rumah sakit. Tapi tetap mengira-ngira, jangan sampai malah lahiran di jalan.
Benar saja, sesampaiku di rumah sakit pembukaanku masih tetap tiga. Dokter yang menanganiku cukup sabar menemani, hingga sinar matahari mulai mengguyur setiap sudut kota. Berbagai posisi sudah kucoba sedari tadi. Senam squat, jongkok hingga gerakan persalinan Maryam juga sudah dilakukan semua. Namun tetap saja, tak ada perubahan yang signifikan.
“Nak, keluar yuk. Bantu ummah. Kita berusaha sama-sama ya.” Sambil mengelus perut yang membuncit, diriku membatin-batin.
Proses induksi telah dilaksanakan setelah Subuh tadi. Pembukaan hanya naik satu, jadi pembukaan empat. Ketika jarum jam menunjukkan pukul 10 pagi, dokter memutuskan untuk melakukan induksi yang kedua kalinya. Tak lama setelah itu, rasa sakit yang teramat sangat menghujam dan sontak mengeluarkan teriakan yang sedari tadi kutahan-tahan. Dokter langsung bersiap.
“Sudah mau lahiran.” Katanya.
Mereka lalu membawaku ke ruang bersalin yang serba putih. Perawat bersiap membantu dokter menemani detik-detik persalinanku. Otakku terus merapalkan sesuatu, seakan-akan ia berteriak mengingatkan. Ayo ngejan! Seperti BAB. Atur nafas, jangan teriak! Sayangnya tubuh tak ingin bekerja sama. Susah payah kuatur nafasku, yang berubah menjadi erangan terputus-putus.
Entah sudah berapa lama kami berada di dalam ruang putih ini. Salah seorang perawat laki-laki dengan tubuh yang besar akhirnya menekan perutku, bermaksud membantu persalinan. Seingatku, cara ini dulu dipakai di Indonesia sebelum ia dilarang di dunia kedokteran. Ternyata disini masih dipakai. Rasanya sakit sekali. Induksi yang rasa sakitnya bisa dua kali lipat melahirkan normal, ditambah perutku yang ditekan oleh laki-laki berbadan besar. Tak bisa diungkapkan oleh kata-kata. Aku ingin disesar saja, ingin sekali kuteriakkan kata-kata itu. Tapi tak mampu.
Setelah sekian lama, akhirnya bayiku berhasil keluar. Namun suara tangisannya tak terdengar. Apa telingaku bermasalah setelah sekian lama berjuang dalam rasa sakit? Diriku yang kehabisan tenaga hanya bisa terkulai lemas di atas tempat tidur. Sementara dokterku keluar dengan wajah sedikit panik yang diikuti oleh para suster. Kemana mereka? Kenapa mereka meninggalkanku disini?
Detik demi detik berlalu, hingga akhirnya seorang perawat senior masuk ke dalam kamar. Setelah melempar seyum yang sedikit janggal, ia menyelesaikan apa yang harus diselesaikan. Mengeluarkan sisa ari-ari yang tertinggal di dalam perut, menjahit bekas robekan di jalan lahir, dan membersihkan berbagai cairan yang keluar. Semua ia lakukan secara cepat dan senyap. Lalu ia mengantarku kembali ke kamar inap.
Di balik pintu, suamiku telah menunggu. Wajahnya sembab, namun senyum yang ditegar-tegarkan menghiasi bibirnya. Di kamar, ia mencium keningku. Lalu keluar dan tak lagi kembali dalam waktu yang cukup lama. Suara isakannya masih tertangkap telingaku. Beberapa kawan yang menemaniku sejak awal, masuk dan membantuku membersihkan badan. Ketika akan berdiri, dunia rasanya berputar-putar.
“Kamu pucat. Kata dokter, kamu anemia.” Kata salah seorang dari mereka, ketika melihatku terhuyung sekian detik. Setelah bersih, sesendok sari kurma disodorkan meminta mulutku menerimanya. Rasa lemas menyergapku kembali, sepertinya kesadaran berusaha meninggalkan.
“Bayiku?”
“Sabar ya, El…,” sebuah tangan mengelusku.
Oh, nggak selamat ya.
Hany aitu yang sempat terlintas, hingga alam mimpi kembali membuai.
***
#30dwc #30dwcjilid29 #day14
Komentar
Posting Komentar