Sang Serba Bisa
Sembuat mentari pagi masih malu menampakkan sinarnya. Burung bersahut-sahutan, saling menggoda satu sama lain. Lalu pergi kembali mencari remah-remah roti yang bisa dimakan. ‘Isy1 panas mengepul, baru saja matang di atas tungku pembakaran. Seorang pria yang tak lagi muda usianya, dengan cekatan mengeluarkannya kemudian mengaturnya rapi di atas anyaman rotan kokoh. Sungguh menggoda melihatnya.
“Aiz ‘isy ‘asyroh geneh lau samaht.2” Seorang ibu muda dengan aksen Asia yang khas berusaha mengambil uang di dompet pink kecilnya. Sang bayi dalam gendongan menggeliat, sedikit terganggu dengan gerakan yang terasa. Merapatkan kembali tubuhnya ke pelukan ibunya yang hangat, kemudian kembali terbuai ke dalam mimpi.
“Aiwah, tafadhdhali.3” Bapak-bapak tua itu menyerahkan sekantong penuh ‘isy yang sudah kaku mendingin.
“’Aiz sukhnah dah.4” Sambil menunjuk ke ruangan bagian dalam yang penuh dengan isy panas.
Bapak tua itu kembali ke dalam dengan sedikit gerutu, lalu menyerahkan sekantong ‘isy yang asapnya masih mengepul. Lezat sekali, batin sang ibu. Lalu ia membayangkan memakannya bersama to’miyah5 goreng, semangkuk kecil ful6 dan terong balado yang sudah dibuatnya sebelum berangkat berbelanja.
Dengan tergopoh-gopoh, sang ibu menelurusi setapak demi setapak jalanan yang belum teraspal. Beberapa kubangan lumpur terlihat disana-sini. Semalam gerimis kembali mengguyur, dengan waktu singkat jalanan becek bergelombang. Jika tak hati-hati, sepatu bisa menjadi korbannya. Kalau parah, kaos kaki pun bisa ikut tercorak coklat sesampai di rumah. Sang bayi kembali menggeliat dalam tidurnya, mencari kenyamanan yang pas.
“Aqila, sabar ya nak. Sebentar lagi kita sampai di rumah.”
Setelah menaiki tiga puluh tiga anak tangga, ia membuka pintu flat sederhananya di lantai tiga. Flat minimalis yang terasa hangat. Terdiri dari dua kamar, satu dapur, satu kamar mandi dan satu ruang kosong di tengah yang menjadi ruangan serbaguna. Menjadi tempat untuk menerima tamu, sekaligus jemuran darurat jika di luar sedang badai debu ataupun udara terlampau dingin.
Bip bip. Suara hp terdengar dari dalam tas. Semoga ada pesanan lagi.
Setelah menyimpan sang bayi di kamar dan mengatur belanjaan, ibu yang umurnya belum sampai tiga puluh itu membuka hpnya.
“Mbak, jubah ukuran XL ada?”
Sambil tersenyum dalam harapan, ia membalas,
“Iya mbak. Ada. Kalau ukuran XL di Indonesia, disini nomor 62. Sebentar ya mbak, saya kirimkan rincian ukurannya.” Dengan cepat, ia mencari gambar yang sudah ia pisahkan sebelumnya.
“Mbak, kalau yang warnanya magenta gitu ada ga? Dengan model seperti ini. Saya sudah pesan gamisnya soalnya, mau couplean sama suami saya.”
Duh, magenta itu yang mana lagi? Susahnya jadi penjual pakaian ya begini, harus menghafal banyak warna. Sedangkan ia bukanlah tipe yang muluk-muluk dalam berpakaian. Itulah sebabnya, ia memilih menjual jubah pria saja. Harapannya, laki-laki tidak begitu menghafal banyak varian warna. Tapi ia tak kepikiran kalau kebanyakan baju laki-laki, ya istrinya yang belikan.
Ia kemudian membuka google dan mengetikkan huruf. Magenta. Keluarlah ribuan gambar dengan warna-warna magenta. Oooh, yang ini.
“Yang ini mbak?”
“Bukaan, itu mah ungu. Bukan magenta.”
“Bukan ya? Tapi mirip kok.”
“Bukan mbaak, haduh.”
Oek, oek. Belum sempat ia balas, tangisan Aqila terdengar memenuhi ruangan.
“Waduh, kenapa nak.” Ia melirik jam. Sudah jam sembilan, ia harus menyiapkan sarapan sebelum suaminya pulang. Namun sang bayi masih terus bersama rengekannya, dengan tangisan menyela-nyela.
Tak akan cukup waktunya jika harus diladeni. Sambil menggendong, sebelah tangannya meraih nampan di rak piring yang tinggi sekaligus mangkuk kecil untuk menyimpan ful yang sudah dingin. Ia diletakkan di samping ‘Isy yang sudah dibeli dan ditata sedemikian rupa. Terong balado di panci pun dituangkan di atasnya. Dilengkapi dengan kerupuk kentang, lengkap sudah sarapan mereka yang sedikit kesiangan.
Setelah memastikan sarapan siap, ia lalu membereskan kamar yang belum tersentuh sapu sejak pagi. Sprei ditarik, bantal yang jatuh disimpan di tempat semula. Selimut dilipat, lalu lantai mulai disapu dari sudut.
Oeeek, oeeek. Tangisan Aqila semakin kencang di gendongannya.
“Ada apa nak? Sabar ya nak, sebentar kita main ya.” Sambil melanjutkan beres-beresnya, ia berusaha menenangkan anak sulungnya. Bayi yang umurnya baru menginjak lima bulan seminggu yang lalu itu belum bisa menyampaikan apa yang ia rasakan. Hanya tangisan jalan komunikasinya. Sang ibu butuh kefokusan yang tajam untuk mengerti keinginannya. Dan itu belum bisa ia lakukan sebelum semuanya beres dan teratur.
Susah payah ia selesaikan, akhirnya kamar pun selesai dibersihkan. Setelah menyimpan piring yang berisi sarapan di meja kamar, ia baru tersadar. Hari ini ada kelas, dua jam lagi akan dimulai. Bergegas, ia menyiapkan tas dan diktat kuliah yang harus dibawanya.
Tempat pensil dimana lagi yak.
Sementara sang bayi terus rewel dalam gendongannya. Rasa lelah setelah berbelanja dan bersih-bersih ditambah perasaan dikejar waktu membuatnya benar-benar kehilangan fokus.
Tak sengaja, ia melirik handphone yang tergeletak. Pesan dari mbak yang tadi masuk. Ternyata ia sudah mengirim pesan berkali-kali sejak tadi. Sedangkan di layar hpnya, pesan terakhir tertangkap oleh sudut mata.
“Maaf deh mbak. Ga jadi beli, adminnya slowrespon banget sih.”
OEEEEEEEEEK
“DIMANA TEMPAT PENSILNYAA.”
“Assalamu ‘alaikum, abi pulang. Aqila, kenapa naak. Ciluk, mbaa.” Sang abi langsung berinisatif mengambil bayi dalam gendongan.
“Wa’alaikumussalam.. Abi datang di waktu yang tepat. Kalau nggak, ngga tau deh. Tahu ngga? Ada mbak-mbak nanyain jubah warna magenta, magenta apa lagi. Kenapa orang harus banget sama persis warnanya, yang mirip juga gapapa keles. Ini Aqila juga dari tadi ga bisa diajak kerja sama. Mana ada kelas lagi sebentar jam 11. Tempat pensilnya…”
“Sst.” Telunjuk Abi menyentuh bibir Ummi, mengisyaratkan untuk diam.
“Waah, ada isy dan to’miyah. Syukran ya Ummi.” Ia kemudian menyimpan Aqila di atas kasur dan memperhatikannya.
“Coba ummi tarik nafas dulu. Terus cek anaknya, ada apa ya?”
Sang ummi mengikuti saran suaminya, lalu mengecek si bayi.
“Ya Allaah, ternyata dia ee abii.”
“Kan, ada sebabnya. Kalau umminya tenang kan masalahnya cepat ketemu. Sini, gapapa abi aja yang ganti.”
“Janganlah abi, itu kan tugas ummi.”
“Siapa yang bilang? Simpan aja ini di atas meja, bisa temenin kita makan. Ntar abi nyusul.” Sambil menyerahkan sekantong strawberry segar dan sekotak ‘asir jeruk.
Sang ummi menurut. Mengambil gelas dan keranjang buah di dapur. Mencuci strawberry dan menuang jus ke dalam gelas. Lalu kembali ke kamar dan menemui abi sudah selesai mengganti popok dan sedang bermain dengan bayinya.
“Sini yuk, duduk. Makan. Sambil lanjut cerita, tadi mau ngomong apa?”
“Itu.. Apa ya?”
“Ummi, perempuan memang dituntut untuk serba bisa. Hamil, melahirkan, melayani suami, berberes rumah, menyediakan segala kebutuhan untuk keluarga, dan lain-lain. Ga ada habisnya. Tapi jangan menganggap itu jadi beban, jalani dengan bahagia. Dan ingat, semua bukan tugas ummi kok. Tugas ummi hanya taat pada Allah dan suami. Sedangkan aku ga wajibin kamu agar kamar bersih rapi terus. Atau buat Aqila senyum terus. Atau bahkan bantuin cari nafkah dengan jualan. Ngga. Kita kerjain sama-sama ya. Apalagi kamu juga masih kuliah, masih bocah. Masih labil.” Abi mencubit pipi ummi gemas.
“Ih abi, apaan sih.” Namun senyumnya terkulum, tanpa terasa hatinya mulai berbunga-bunga. Lelah yang tadi ia rasakan, perlahan sirna.
Ya, perempuan memang kadang dituntut untuk serba bisa. Khususnya jika sudah menjadi seoang ibu. Ada kebahagiaan tersendiri melihat rumah yang rapi dan semua kebutuhan keluarga terpenuhi. Tapi, gapapa kalau sekali-kali kamu mengaku lelah dan butuh istirahat. Ga papa kalau kamu pengen liburan atau minta pasangan untuk gantian jagain dedek. Karena, keluargamu juga butuh cinta. Bagaimana ibu akan memberikan cintanya, jika tangkinya kosong tak terisi. So, bagikan cintamu.
Ket
1. Isy adalah makanan pokok di Mesir, terbuat dari gandum berbentuk bulat.
2. Tolong berikan saya sebanyak 10 junaih (mata uang Mesir)
3. Oke, silahkan.
4. Tolong beri saya yang masih panas ini
5. Sejenis makanan Mesir dari kacang-kacangan, menyerupai bakwan.
6. Sejenis kuah bubur yang dibuat dari kacang khas Mesir.
Komentar
Posting Komentar