Takdir (akan direvisi)
Detik demi detik berlalu, hingga akhirnya seorang perawat senior masuk ke dalam kamar. Setelah melempar senyum yang sedikit janggal, ia menyelesaikan apa yang harus diselesaikan. Mengeluarkan ari-ari yang masih ada di perut, menjahit bekas robekan di jalan lahir, dan membersihkan sisa-sisa darah yang keluar. Semua ia lakukan secara cepat dan senyap. Lalu ia mengantarku kembali ke kamar perawatan.
Suamiku telah menungguku di luar. Wajahnya sembab, namun senyum yang ditegar-tegarkan menghiasi bibirnya. Setelah mencium keningku, ia keluar dan tak lagi kembali dalam waktu yang lama. Suara isakannya masih sedikit tertangkap oleh telingaku. Setelah itu, beberapa kawan yang memang sengaja menungguiku masuk dan membantuku membersihkan badan. Ketika akan berdiri, dunia rasanya berputar-putar.
"Kamu pucat. Kata dokter, kamu anemia." Kata salah seorang dari mereka. Seseorang lalu meminumkan sari kurma beberapa sendok. Setelah bersih, rasa lemas menyergapku kembali, membawaku membuai ke alam mimpi.
"Sabar ya El.." bisikan mereka masuk ke telingaku.
Oh, nggak selamat ya.
Hanya itu yang terngiang di pikiranku, hingga alam mimpi kembali membuai.
Selama seminggu, rumah tak pernah sepi dari kehadiran pengunjung. Kawan-kawan dekat bergantian berjaga sekaligus menghibur. Beberapa senior dan kawan jauh datang membawa bingkisan. Sebagian di antaranya bahkan memberikan uang dengan jumlah yang tak sedikit.
Perasaanku? Mati. Mati rasa, itu kesimpulanku. Simpul senyuman masih bisa terukir, menjawab setiap belasungkawa yang terus berdatangan. Kuhibur suamiku yang sering kali diam-diam mengusap air mata. Bahkan aku masih bisa mengusap-usap punggung temanku yang tak mampu menahan tangisnya. Orang yang tak tahu mungkin akan mengira bahwa dia yang kehilangan.
Hari demi hari, kesadaran itu menghantam. Semakin lama, semakin menghujam seiring pengunjung yang semakin sedikit. Luka bekas jahitan semakin terasa. Wajah-wajah bayi terlintas dalam benak. Suara-suara sumbang mulai berdatangan. Lalu kesadaran itu menghantam sanubari.
Anakku. Yang kukandung sembilan bulan. Yang kuharap-harapkan kehadirannya. Dia benar-benar telah tiada.
Akhirnya kesedihan itu tiba setelah genap seminggu. Suamiku yang mulai mereda kesedihannya, gantian menghiburku yang kadang tanpa sadar meneteskan air mata. Baju-baju bayi yang telah disiapkan, menjadi pupuk yang menyuburkan pilu akibat kehilangan. Tangisan bayi kawanku, menjadi tangisanku juga. Menyadarkanku bahwa aku benar-benar telah kehilangan.
Kemudian aku mulai menyalahkan segala hal. Kusalahkan rumah sakit yang tidak sigap mengambil tindakan operasi. Kusalahkan dokter yang tidak berhasil menyelamatkan anakku. Kusalahkan suamiku yang tidak memilihkan ku rumah sakit mahal.
Lalu penyesalan demi penyesalan datang seiring berjalannya waktu. Mengapa aku tak menjaga pola makan? Mengapa aku tak rutin minum vitamin? Mengapa aku tak senam rutin? Mengapa, mengapa dan mengapa? Ini salahku, aku yang salah. Aku yang membunuh anakku.
Rasa-rasanya, kesedihan menenggelamkanku sedalam-dalamnya. Mereka hanya melihat senyumku di luar sana. Mereka hanya sibuk mendengar kisahku melahirkan, bertanya bagaimana ia bisa terjadi. Mereka kira aku baik-baik saja.
Hingga, aku mulai menyalahkan takdir. Ya Allah, kenapa harus anakku yang Engkau ambil? Apakah diriku begitu berlumuran dosa, hingga anakku pun menjadi tebusannya? Mengapa mereka di luar sana bisa menikmati menimang bayi-bayi mereka, sedangkan aku tidak? Aku sudah bersabar, aku berusaha untuk tidak mengeluh. Tapi kenapa tetap Engkau ambil ya Allah.
"Sadar istriku!"
Terhenyak.
Terimalah takdir Allah dengan penuh ridha. Pelan-pelan, jangan ratapi semua yang terjadi. Tak apa bersedih sayang. Sungguh, fitrah manusia untuk bersedih ketika kehilangan. Terutama jika ia adalah hak yang sangat berharga. Namun ingat, bersedihlah dalam koridor syari'at, melalui jalan-jalan yang Allah ridhai.
Ingat selalu, bahwa semua terjadi atas kehendak dan takdir Allah. Tak ada daun yang jatuh, kecuali atas izin Allah. Sadarlah, semua ini sudah tertulis di Lauhul Mahfuz sebelum penciptaan manusia. Tak ada yang patut disalahkan, tak ada yang harus dituduh. Apalagi sang takdir.
Sadarilah, semua akan ada hikmahnya. Bayangkan, anak kita sekarang berada alam kubur. Menunggu kita, orangtuanya. Ia telah aman di sana, dalam keadaan suci tanpa dosa.
Sungguh, tak apa bersedih sayang. Rasulullah kehilangan (berapa orang di?) anak, dan beliau bersedih. Sabdanya terabadikan hingga kini,
"((Hadits Rasulullah ketika Ibrahim meninggal))". Namun sekali lagi, kematian adalah sebuah keniscayaan. Kini atau nanti, sama saja. Semua yang bernyawa pasti fana. Akan meninggal ketika tiba ajalnya. Maka berhenti menyalahkan takdir, cintaku.
Ya. Berhenti menyalahkan siapa pun. Berhenti menyalahkan takdir. Allah sebaik-baik perencana,
Komentar
Posting Komentar